Tidak Hanya Nyawa yang Hilang di Gaza, Tapi Juga Sejarahnya

 

kerusakan di Masjid Agung Gaza/getty images 


Yahya Al Sarraj, Wali Kota Gaza, tidak bisa menyembunyikan kemarahannya saat mengetahui Gedung Arsip Gaza menjadi korban kebiadaban Israel. Padahal di dalamnya tersimpan dokumen sejarah yang berusia lebih dari 150 tahun, juga denah bangunan kuno serta tulisan tangan tokoh bangsa. Selain Gedung Arsip Gaza, Israel juga menghancurkan perpustakaan utama di Jalur Gaza. Ini merupakan perpustakaan terbesar di Jalur Gaza yang berisi dokumen dan buku-buku sejarah. 

"Menargetkan Gedung Arsip Gaza menimbulkan bahaya besar bagi kota, karena di dalamnya terdapat ribuan dokumen bernilai sejarah bagi masyarakat," ujar Al Sarraj. "Kami merasa sangat marah dan juga sedih saat mengetahui besarnya kerusakan yang ditimbulkan pada pusat kebudayaan dan perpustakaan utama kota,” tambahnya. 

Selain gedung arsip dan perpustakaan, Heritage for Peace mendata setidaknya 100 bangunan bersejarah di Gaza rusak. Diantaranya Masjid Agung Omari atau Masjid Raya Gaza, salah satu masjid paling penting dan kuno dalam sejarah Palestina; Gereja Saint Porphyrius, gereja tertua ketiga di dunia; pemakaman Romawi berusia 2.000 tahun di Gaza utara yang baru digali tahun lalu; dan Museum Rafah, sebuah ruang di selatan Gaza yang dibangun untuk mengajarkan warisan panjang sejarah di Palestina. 


Kerusakan di Gereja Saint Porphyrius/getty images

“Jika warisan ini tidak ada lagi di Gaza, maka identitas masyarakat di Gaza akan hilang,” kata Isber Sabrine, Presiden Heritage for Peace. “Masyarakat di Gaza mempunyai hak untuk menjaga dan menyelamatkan warisan ini, untuk menceritakan sejarah akan pentingnya tanah ini,” tambahnya. 

Konvensi Den Haag 1954, yang disetujui oleh Palestina dan Israel, bersepakat untuk melindungi bangunan-bangunan bersejarah dari kerusakan akibat perang. Namun seperti yang sudah-sudah Israel tetap melanggar apa yang telah disetujuinya dengan tetap menghancurkan bangunan-bangunan sejarah bernilai tinggi. 

Fernando Baez dalam buku Historia Universal de la Destrucción de Libros yang telah diterjemahkan oleh penerbit Marjin Kiri dengan judul Penghancuran Buku dari Masa ke Masa menyatakan, saat buku hancur atau dihancurkan maka jangan dilihat sebagai objek belaka, melainkan sebagai tautan memori, tautan pada kesadaran akan masa lampau. 

Maka, lanjut Baez, sebuah buku dihancurkan dengan maksud menghabisi memori penyimpannya, artinya warisan gagasan-gagasan dari suatu kebudayaan secara keseluruhan akan hilang. 

Ray Bradbury dalam novelnya berjudul Fahrenheit 451 menulis, "To delete history, delete their books." Inilah yang dilakukan oleh Kaisar Tiongkok Shih Huang Ti pada 213 SM yang berpikir bahwa dengan membakar semua dokumen di kerajannya, maka sejarah akan bermula dari dirinya. Lalu saat Bangsa Mongol menjarah Bagdad pada 1258, konon sungai Tigris menjadi hitam sebagai efek dari tinta buku-buku yang ditenggelamkan di sungai tersebut. Untuk melanggengkan narasinya akan ras yang unggul, pada 1933 di Berlin dan di tempat lain, pasukan Nazi memimpin pembakaran puluhan ribu buku, mulai dari karya Sigmund Freud hingga karya Jack London. 

Maka dengan menghancurkan nilai-nilai sejarah baik itu dokumen, bangunan dan lainnya di Palestina, Israel tidak hanya ingin mengusir bangsa Palestina dari tanahnya. Tapi juga ingatan panjang mereka sebagai bangsa berdaulat serta semangat perjuangan meraih kemerdekaan.

Tidak ada komentar