Palestina Yang Belum Selesai



16 Desember 1915 pemerintah Inggris memanggil Sir Mark Sykes, penasehat utama Inggris untuk urusan Timur Tengah, ke rapat kabinet di Downing Street. Inggris ingin mendengar sarannya terkait melemahnya Kesultanan Usmani Turki. 

Dalam rapat tersebuat Sykes membagi garis untuk membagi kekuasaan antara Inggris dan Prancis. Langkah ini diambil agar tidak terjadi konflik antar dua negara tersebut. Di Utara yang terdiri dari Lebanon, Suriah, sebagian wilayah Turki dan Irak diberikan kepada Prancis. Lalu di Selatan yang terdiri dari Palestina, Yordania dan sebagian Irak dibagi untuk Inggris. Sementara itu untuk wilayah Arab, Inggris memiliki rencana sendiri lewat Lawrence of Arabia yang menyatukan suku-suku di Arab untuk bersatu dan memberontak melawah Usmani. 

Arthur Balfour, bekas perdana menteri Inggris, hadir saat Sykes memaparkan programnya dan aktif bersuara dalam pertemuan tersebut. Balfour memiliki obsesi untuk mengubah wajah Timur Tengah, yang kemudian ia wujudkan 2 tahun kemudian saat menjebat sebagai Menteri Luar Negeri Inggris. 

Balfour menulis sebuah surat, kemudian terkenal sebagai deklarasi Balfour, yang merupakan komitmen pemerintah Inggris untuk membentuk negara Yahudi di Palestina. Thoeodor Herzl, Yahudi Austria, lewat organisasinya juga berjasa dalam keluarnya deklarasi ini. Herzl menggemakan Bangsa Yahudi tidak akan selamat dan akan selalu dalam penderitaan jika tidak memiliki negara sendiri. 

Perlahan tanah Palestina kedatangan Bangsa Yahudi, dan menemukan momentumnya saat Nazi Jerman mengusir sekaligus membantai Yahudi di tanah Eropa. Peristiwa yang membuat PBB pada tahun 1947 membagi Palestina menjadi dua wilayah. Saat itu bangsa Yahudi mendapat 56 persen Tanah Palestina. 14 Mei 1948, saat negara-negara Arab masih melakukan protes dan banding atas sikap PBB, negara Israel diproklamirkan. Sehari setelahnya, 15 Mei 1948, hampir sejuta warga Arab harus terusir dan kehilangan nyawa di tanahnya. Bencana atau Nakba yang terus menghantui warga Palestina hingga saat ini. 

Negara-negara Arab pun angkat senjata. Mendapat dukungan Amerika dan Eropa, Israel berhasil memenangkan pertempuran ini. Imbasnya Israel menambah berhasil memperluas wilayahnya menjadi 70 persen dari tanah Palestina. Tanah yang kemudian tidak pernah dikembalikan hingga saat ini. 

Sejak itu Israel kerap mengusir warga Arab-Palestina dari wilayah mereka. Bahkan tidak segan membunuh bagi yang melawan. Di tanah rampasan tersebut mereka membangun pemukiman Yahudi. Sementara sebanyak 2 juta warga Palestina hidup berjejal di wilayah seluas 365 kilometer di Jalur Gaza dan sebagian lainnya hidup di Tepi Barat. Jalur Gaza menjadi satu tempat terpadat di dunia di mana sebanyak 9.000 jiwa memadati tiap kilometer persegi.

Di Jalur Gaza mereka hidup layaknya di penjara. Tembok besar membatasi langkah. Siapa yang berani melewatinya akan berhadapan dengan kekerasan yang berujung kematian oleh pasukan Israel. Banyak dari mereka hidup mengandalkan bantuan dari lembaga kemanusiaan. Saat mereka melawan dengan lontaran roket buatan rumah, jet tempur dengan peralatan perang modern menjatuhkan rudalnya meluluhlantahkan bangunan sekaligus melenyapkan penghuninya. 

Hari-hari ini korban nyawa berjatuhan kembali di Jalur Gaza. Israel dengan kalap membantai siapa saja tanpa peduli mereka bersenjata atau tidak. Kota Gaza dihujani bom segala rupa. Gedung-gedung runtuh, ribuan orang meregang nyawa, puluhan ribu terluka dan ratusan ribu orang kehilangan tempat tinggal. 

Serangan Hamas yang memancing kemarahan Israel menyadarkan dunia bahwa ada persoalan yang belum selesai di Timur Tengah. Tentang penjajahan, ketidakadilan, keserakahan, ketamakan. Tentang mereka yang kehilangan tanahnya. Tentang satu kelompok bangsa mengerdilkan bangsa lainnya. 


Tidak ada komentar