Awal Desember layanan streaming Netflix merilis film Farha. Film produksi Jordania ini berkisah trauma gadis Palestina pada peristiwa Nakba pada tahun 1948.
Nakba merupakan sebutan warga Palestina terhadap peristiwa eksodus massal yang menimpa setidaknya 750 ribu orang Arab di negara itu pada 1948. Berawal saat David Ben-Gurion mendeklarasikan berdirinya Israel pada 14 Mei 1948. Nakba sendiri berarti 'kehancuran. ' Warga Palestina terus memperingati Nakba pada 15 Mei.
Farha yang diperankan oleh Karam Taher adalah gadis berusia 14 tahun asal kota Dawaymeh, yang ingin keluar dari sistem tradisional desanya. Saat banyak gadis seusianya sudah bersiap untuk menikah, Farha bertekad untuk melanjutkan sekolah di kota terdekat.
“Saya ingin belajar sejarah, matematika, geografi, fisika” ujarnya tegas dalam satu adegan di film tersebut.
Sang ayah pun luruh dengan tekad putrinya. Ia mendaftarkan Farha ke sekolah yang ada di kota. Farha senang dan ia mengabarkan ini ke kawannya. Cerita berlanjut saat pasukan Israel menyerang desa Farha yang tenang. Ia dipaksa bersembunyi oleh sang Ayah di gudang penyimpangan makanan yang terkunci untuk menunggu ayahnya kembali. Dari lubang kecil di dinding Farha melihat tentara Israel mengeksekusi keluarga Palestina – termasuk dua anak kecil dan seorang bayi.
Darin J. Sallam, penulis sekaligus sutradara film Farha mengakui kisah ini berangkat dari kisah nyata yang dialami oleh karib ibunya saat di pengungsian di Suriah.
“Cerita ini hidup dalam kepala saya sejak kecil. Ketika saya masih kecil, saya takut akan tempat-tempat tertutup dan gelap, dan saya terus memikirkan gadis ini dan apa yang terjadi padanya. Ketika ada kesempatan mewujudkannya saya ingin membagikan kisah tragis ini kepada siapa saja” ujarnya.
Film ini pun mendapat tentangan dari Israel, yang mengatakan ini kebohongan yang nyata. Meski cerita serupa banyak dikisahkan dalam buku dan berbagai artikel sebagaimana yang ditulis oleh Ilan Pappe dalam buku The Ethnic Cleansing of Palestine yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh penerbit Elex Media Komputindo dengan judul Pembersihan etnis Palestina.
“Tentara Yahudi yang ambil bagian dalam pembantaian itu juga melaporkan adegan-adegan mengerikan: bayi yang tengkoraknya retak terbuka, wanita diperkosa atau dibakar hidup-hidup di rumah, dan pria ditikam sampai mati,” tulis Ilan Pappe.
Menteri Keuangan Israel pun mengancam memberhentikan dana ke Teater Al-Saraya di kota Jaffa, yang mayoritas penduduknya dari komunitas Arab, karena menayangkan film tersebut.
“Kami berkomitmen membela hak kami untuk eksis dan mengekspresikan diri kami sendiri. Kami berkomitmen untuk kebebasan seni, semua seni," kata Manajer teater, Mahmoud Abo Arisheh.
Sementara itu Sallam tetap pada tekadnya untuk membagikan kisah ini kepada banyak orang, “Saya tidak takut untuk menyampaikan kebenaran. Karena film akan terus hidup saat kita mati”
“Itulah mengapa saya memutuskan untuk membuat film ini. Bukan karena saya politisi, tapi karena saya setia pada cerita yang saya dengar.” tambahnya.
Sallam pun mendapat banyak dukungan. Ahmed Eldin, mantan jurnalis Al Jazeera, lewat akun twitternya menulis:
“Rezim Israel berada dalam kepanikan atas Farha, sebuah film yang kuat dan menyentuh hati karya Darin Sallam yang berani menceritakan kisah seorang gadis muda tentang Nakba (pembersihan etnis +700.000 warga Palestina),”
Sementara itu Rohan Talbot, yang bekerja untuk Medical Aid for Palestines mengatakan:
"Bagus bahwa Netflix menayangkan film ini, saya harap film ini tidak kalah pada kampanye kebencian yang selalu berusaha untuk mencegah suara Palestina didengar."
Kebetulannya Film Farha diputar bebarengan dengan gelaran Piala Dunia 2022 di Qatar. Di mana suara untuk kemerdekaan Palestina ramai diteriakkan sejumlah fans. Banyak potongan gambar merekam sejumlah fans sepakbola meneriakkan “free Palestine” saat diwawancara oleh media Israel.
Sebagaimana keinginan Sallam, film ini tidak hanya merawat cerita tapi juga menjaga sejarah sekaligus menjaga perjuangannya.
Tidak ada komentar