Seperti Jimi Multhazam, Saya Juga Punya Cerita Tentang Matraman


Kemana aja saya baru dengerin Matraman the upstair pada tahun 2020 kemarin. Dengernya juga yang versi akustik. Yang lebih lucu saya tahu Jimi Multazam, vokalis the upstair dan penulis Matraman, dari bincang-bincang soal sepeda. Tapi apapun itu saya bersyukur bisa kenalan ama lagu yang dinobatkan sebagai salah satu dari 150 lagu Indonesia Terbaik Sepanjang Masa versi majalah Rolling Stone Indonesia. Lagu ini yang kembali mengingatkan kenangan Matraman dalam perjalanan kehidupan saya.

Meski singkat, lagu Matraman benar-benar bisa mendeskripsikan kota tersebut lengkap. Seperti diakuinya, Jimmy tidak pernah tinggal di Matraman, tapi ada seorang kerabat yang tinggal di wilayah Jakarta Timur tersebut yang kerap ia datangi. Matraman juga kerap menjadi tempat transitnya semasa kuliah di IKJ.

Sama seperti Jimi, saya juga tidak pernah berdomisili di Matraman. Tapi kota ini jelas punya pengaruh yang terbawa hingga saya besar. Di Matraman yang merupakan kecamatan terkecil di kota administrasi Jakarta Timur Ibu saya lahir dan besar. Di Matraman pula ayah sayah ngekos. Mereka akhirnya bertemu hingga menikah.

Di Matraman ibu tinggal di rumah besar yang berlokasi di gang H. Murtadho. Ini rumah tempat nenek dan kakek saya membesarkan ke 11 anaknya. Gang ini sangat legendaris karena bersebelahan ama kantor PNI. Rumah tersebut kini sudah habis tergusur dan berubah menjadi pusat pengetikan yang terkenal itu.

Hampir setiap pekan ibu mengajak saya ke Matraman tepatnya ke rumah nenek. Saya kerap dititip di sana untuk bermain bersama sepupu, sementara ibu berbelanja di pasar Jatinegara untuk kebutuhan warung kelontong. Saya senang aja saat itu karena di depan rumah ibu ada warung besar tempat saya kerap berbelanja es krim. Warung ini dikelola oleh Meme Sukung, warga keturunan yang sangat akrab dengan keluarga besar saya. Dari beliau pula kami kerap mendapat kue keranjang, penganan khas saat imlek.

Aktivitas belanja ibu ke Pasar Jatinegara dan Pasar Pagi Glodok yang membuat saya sejak kecil akrab dengan transportasi publik. Karena kalo gak naik kereta, yah ibu naik angkutan umum. Saya mulai hafal nama-nama stasiun dan juga tempat turun untuk berganti angkutan.

Kembali soal Matraman. Di kota ini untuk pertama kalinya saya kenal dengan toko buku yakni toko buku Gramedia Matraman. kedua orangtua kerap mengajak saya ke toko buku tersebut mencari buku-buku pelajaran dan disela-selanya saya menyusup ke rak komik dan menemukan novel Trio Detektif yang selanjutnya menjadi bacaan favorit saya. Selain Gramedia, ayah juga kerap mengajak ke daerah Kwitang di Senen untuk mencari buku-buku dengan tema agama islam.

Di Matraman pula saya berkenalan dengan kamera foto. Karena di seberang rumah ibu, tepatnya tidak jauh dari lampu merah berdiri kantor sekaligus penjualan Fuji Film tempat ayah membeli kamera dan perangkat pendukungnya serta mencuci foto hasil jepretan beliau.

Selain menjejak langsung, Kota Matraman juga dikenalkan lewat cerita oleh Ibu saya. Ia kerap bercerita tentang tawuran antara anak Gang Berlan dan Palmeriam, juga peredaran narkoba di wilayah tersebut. Dari situ mulai terbangun bayangan kota yang keras sekaligus romantis.

Sepupu saya juga kerap mengajak saya menjelajah kota tersebut. Saya pernah diajak berjalan kaki dari Stasiun Manggarai menuju Matraman dengen membelah Jalan Tambak. Sementara Almarhumah nenek kerap mengajak saya ke pengajian Habib Kwitang pada minggu pagi, jika kebetulan saya menginap di sana.

Dari cerita Ibu dan Ayah saya tahu kalo Matraman tepatnya di Pasar Pramuka menjadi pusat penjualan obat terbesar. Saya juga tahu untuk mencari jenis kabel dan peralatan eletrik yang komplit kita harus ke Pasar Kenari. Saya juga hafal jalan menuju RS Cipto dari Stasiun Cikini. Ingatan ini sangat berguna saat masa kuliah tepatnya ketika harus melarikan diri dari kejaran ormas saat melakukan aksi demonstrasi di depan kantor Partai Golkar.

Perjalanan dari Matraman ke arah Jatinegara yang melewati lapangan bola Urip Sumohardjo memberi informasi itu merupakan tempat mencari barang-barang bekas berkualitas dengan harga murah dari mulai helm sampai dengan televisi. Oiya di sana juga banyak tempat perbaikan sepatu.

Kisah-kisah ibu tentang tawuran yang kerap terjadi menjadi modal pengetahuan saya saat berseragam SMU di bilangan Dewi Sartika. Saya tahu titik-titik di mana tawuran kerap terjadi. Juga kisah tentang narkoba dan bagaimana seseorang merekrut temannya menjadi pecandu menjadi pengetahuan yang sangat berguna saat masa SMA saya.

Untuk tulisan ini saya ingin berterima kasih kepda Bang Jimi atas inspirasinya.

1 komentar