Perang Etgar Keret Demi Kemanusiaan dan Perdamaian




Seorang pria tengah menunggu proses kelahiran putranya di sebuah rumah sakit di Israel yang riuh karena baru saja terjadi serangan roket saat seorang jurnalis masuk dan bertanya langsung kepadanya. 


“bagaimana reaksi Anda atas serangan ini?” ujar sang jurnalis, yang mengingatkan kita akan pertanyaan “bagaimana perasaan Anda akan musibah ini” dari banyak  jurnalis saat terjadi bencana. 


“saya bukan korban serangan, saya sedang menunggu kelahiran putra saya” ujar pria tersebut. 


Dengan muka kesal sang jurnalis pun terduduk lesu. Ia gagal mendapat jawaban yang akan membuat banyak pemirsa menonton reportasenya. 


Pria yang sedang menunggu kelahiran putranya tersebut adalah Etgar Keret, penulis Israel, dan kisah tersebut menjadi awal pembuka memoarnya berjudul  The Seven Good Years, yang diterbitkan oleh penerbit Bentang Pustaka. 


Keret dikenal sebagai penulis minimalis. Begitupula memoarnya tersebut. Meski begitu dalam buku yang tidak terlalu tebal ini, selain cerita soal Keret, Istri dan putranya kita juga akan disuguhkan kritik-kritik Keret pemerintah Israel. 


Saya memang belum pernah membaca tulisan Keret sebelumnya. Namun gayanya yang polos dan tulisan betuturnya, seakan tengah bercerita pada kawan lama, membuat saya langsung menyukainya dan menjadikan Keret sebagai contoh dalam menulis sebuah cerita. 


Sebagai seorang Israel, Keret tidak begitu saja setuju dengan sikap pemerintahnya pada Palestina. Dalam satu tulisan ia menyindir secara halus bagaimana pemerintahnya lebih peduli pada seekor hewan ketimbang ratusan anak Palestina yang terlunta akibat konflik. 


Ditulisan yang lain ia berkisah bagaimana konflik hanya akan membuat perasaan tidak menentu. Ia mengisahkan saat istrinya mendengar kabar dari saudaranya bahwa Iran, yang saat itu dipimpin oleh Ahmadinejad, akan menyerang Israel dalam waktu tidak lama dengan senjata nuklirnya. Ini membuat ia dan istrinya enggan mengerjakan pekerjaan rumah seperti cuci piring, menyapu dan mengepel lantai. 


“Toh, nanti akan hancur juga kena bom nuklir” 


Hingga akhirnya pada suatu malam ia bermimpi ketemu Ahmadinejad yang mengatakan ia “begitu mencintai Israel”, Keret pun bangun dan langsung membersihkan rumahnya. 


Dalam tulisan yang lain Keret menggambarkan sikap paranoidnya sebagai orang Israel. Saat mendapat undangan di Bali, ia sangat susah mendapatkan visa karena tidak adanya hubungan diplomatik Indonesia dan Israel. Begitu juga sang Ayah yang memperingatkannya untuk tidak berangkat ke Bali karena banyak mayoritas muslim di Indonesia, meski Keret telah meyakinkan ayahnya bahwa mayoritas penduduk di  Bali adalah Hindu. Begitu juga saat di Jerman ia ketakutan dengan seorang pemabuk yang tengah memaki dan ia menganggap orang Jerman tersebut tengah memarahinya, padahal orang Jerman yang tengah mabuk tersebut marah karena mobilnya rusak. 


Begitulah cara Keret menyampaikan pesan. sederhana dan mengalir begitu saja. Tidak ada bahasa yang berat dan disampaikan dengan kisah sehari-hari yang mudah kita ikuti. 


Keret tidak takut menentang pemerintah Israel selama konflik di Gaza yang ia tunjukkan dengan menulis artikel  Israel’s Other War, tentang sikap Israel yang tidak menerima kritik dan akan membungkam yang beropini beda dengan pemerintah. 


Artikel ini menunjukkan keberanian Keret dalam bersikap. Banyak teman yang memintanya untuk tidak menerbitkan artikel tersebut dengan alasan, “Kau punya anak kecil," atau alasan lain, “lebih baik bersikap pintar ketimbang benar” 


“aku tidak merasa benar dan juga tidak kelewat pintar, tapi aku bersedia bertarung untuk hakku dalam menyampaikan pendapat betapa ganasnya IDF di Gaza. Ini bukan soal pertarungan pendapat pribadiku, yang bisa saja keliru dan bodoh, melainkan untuk tanar air yang kudiami dan cintai” 


Lewat tulisan Keret menyampaikan pesan kemanusiaan dan perdamaian. Karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh penulis Palestina Izzat Ghazzawi. Bersama Samir El-Youssef, penulis Palestina lainnya yang ia temui di Zurich, menerbitkan kompilasi cerita berjudul Gaza Blues. 

Tidak ada komentar