Bike Camp

 



Belakangan saya sangat menyukai kegiatan berkemah sambil bersepeda. Setidaknya sudah 2 kali saya melakukan aktivitas tersebut, pertama di Curug Hiji, Bogor, yang berjarak 74 km sekali jalan dari Tangerang dan kedua di Gunung Teh Puncak, Bogor, yang berjarak sekitar 80 km sekali jalan dari Bogor. 

“Ah, kurang kerjaan” begitu respon yang saya dapat ketika menceritakan aktivitas tersebut. Bahkan saya sendiri sempat bertanya dan meyakinkan diri berulang kali ketika akan bikecamp ke Curug Hiji, “apa benar ini?’ 

Semua keraguan itu mendadak hilang begitu kayuhan pertama. Selanjutnya adalah saya sampai ke tempat perkemahan dengan perpaduan sepeda digowes, didorong dan bahkan pernah dinakein ke atas pickup. 

Bike camp sebetulnya bukan aktivitas yang terbilang baru, meski di Indonesia  terasa banyak penggemar saat pandemi melanda dan demam sepeda datang. Maka kultur berkemah dengan bersepeda pun mendapatkan penggemarnya. Ada yang sendirian ada pula yang ramean. Intinya mereka mengayuh sepeda puluhan bahkan ratusan kilometer ke areal pegunungan, mendirikan tenda, dan bermalam untuk selanjutnya pulang. 

Para petualang sepeda tersebut pun membagikan pengalaman mereka di media sosial. Ada yang hanya membagikan foto di instagram. Ada pula yang membuat video singkat dan menggunggahnya di youtube, yang kemudian saya tonton dan tertantang untuk mengikutinya. 

selayaknya para petualang. para senior yang saya kenal dalam aktivitas bikecamp akan senang jika medang menantang. Ada kepuasan tersendiri bila mereka bisa sampai ke tempat yang dituju. Sebaliknya akan ada dendam untuk menaklukkan jika satu rute tidak bisa terselesaikan saat itu. 

Soal letih yah sudah pasti. bohong jika ada yang bilang tidak. Bahkan lelahnya bisa terasa berlebih dibanding mereka yang berkemah diantar kendaraan bermotor. Tapi seperti kata fikri, sahabat kantor yang sama-sama mengayuh mendaki ke Curuh Hiji, ini lelah yang gembira. Dalam artian, fisik lelah tapi jiwa lebih gembira. Bisa jadi karena, darah yang mengalir dan oksigen yang mengisi ruang di setiap badan kita. 

Bagi yang sudah mencobanya, maka tidak akan ada rasa kapok. Yang ada mereka akan menentukan tanggal bersama-sama kawan untuk kembali mengulangnya. 

sebetulnya kegiatan bike camp ini tidaklah beda dengan kegiatan berkemah lainnya. sama-sama ingin mencari kesegaran di alam terbuka. Yang membedakan hanya proses menuju tempat kemahnya. Ini hanya soal bagaimana manusia keluar dari rutinitas harian yang terasa mengekang.

Terkait aktivitas alam ini saya sebanarnya gak terlalu akrab. Bisa dibilang bahkan saya gak pernah tuh ikut-ikut camp saat usia sekolah. paling banter saya mengikuti persami, perkemahan sabtu minggu, yang itupun digelar di halaman sekolah. Yah, survival saya memang kurang. Penyebabnya banyak, saya itu sebenarnya penakutan. Dari mulai takut gelap, takut jatuh, takut jauh dari rumah dan segala macamnya. Saat banyak kawan SMA kerap naik gunung, saya lebih memilih asyik main di rumah saja. 

Rasa takut ini benar-benar membebani, hingga akhirnya saya berjumpa dengan buku Fear is Power karya Anthony Gunn. menurutnya rasa takut yang ada dalam diri manusia itu bukan aib, tapi justru itu keuntungan selama kita bisa mengelolanya dengan baik. Banyak mereka yang takut lalu mengolah rasa takut itu menjadi sebuah keberanian. Begitu teorinya. 

Kembali ke aktivitas sepeda, saya memang menyukainya sejak kecil. Bahkan hingga SMU kendaraan pribadi saya yah sepeda mini polygon berwarna biru. Sepeda dengan keranjang depan dan boncengan di belakang ini saya bawa kemanapu saya main. Disaat banyak kawan sudah bisa mengendarai motor, saya tetap setia dengan sepeda mini tersebut.

Dengan sepeda tersebut saya gak perlu mikir uang bensin untuk melingsir. Juga gak takut akan ditilang karena belum punya SIM atau kendaraan tidak punya surat. Saya bebas ke mana saja tanpa takut di depan ada polisi atau tidak. Dengan sepeda tersebut saya juga bisa menembus gang-gang kecil tanpa mengganggu sekitar karena tidak ada suara knalpot yang menggelegar. Polusi suara yang ada paling sebuah bel kecil yang lebih kerap diduga tukang es. 

Meski begitu saya tidak punya banyak sepeda, setidaknya dari awal saya belajar sepeda dengan sepeda BMX keluaran tahun  78 hingga sekarang saya hanya berganti 4 buah sepeda. 

Sejak kecil saya juga sudah menggowes jauh sepeda saya. Tidak hanya sekedar ke sekolah tapi juga ke rumah teman yang sudah berbeda 3 kecamatan. Sering saya keluar jam 7 pagi, kembali hingga jelang maghrib. Sepeda membuat saya agak bebas. Lelah yang lahir juga memompa darah, dan yang berbeda dengan transportasi lainnya. Ini yang menurut saya penting. Sepeda dengan keterbatasan kecepatannya membuat kita akan mengenal lingkungan sekitar, berbeda dengan transportasi berbasis mesin yang membuat kita fokus dengan tujuan. 

Seperti kata Naufal, kawan kantor saya, yang mengatakan baru ngelihat banyak hal saat bersepeda dari Tangerang ke rumahnya di Lenteng Agung. 

“Iyah lebih lama, tapi banyak menemukan sesuatu yang selama ini sering terlewat” 


 





Tidak ada komentar