Bagaimana Saya Mengenal Buya Hamka

 




Buya Hamka menjadi satu ulama yang menjadi idola dan karyanya banyak saya baca. Perkenalan saya dengan ulama asal Sumatera Barat ini terjadi karena kebiasaan  almarhum ayah menggeletakkan buku-buku karya Buya Hamka sembarangan di meja tamu setelah membacanya dan mengundang penasaran saya yang waktu itu masih kelas 5 SD untuk sekedar mengintipnya sekaligus membaca meski belum begitu paham semua maknanya pada saat itu. 


Saya ingat, suatu saat satu jilid edisi Tafsir Al-Azhar tergeletak di atas meja. Saya yang sedang bermain mobil-mobilan melirik ke buku yang tengah terbuka lebar, ada tulisan menebal, yang belakangan saya tahu itu sub judul, bertulis “Tongkat Musa Menjadi Ular”.


Sub judul tersebut jelas menarik minat saya. Apalagi berbau magic. Lalu saya meninggalkan mobilan saya dan mulai mengikuti apa yang ditulis. Ternyata itu sebuah kisah dalam Alqur’an, saya lupa surat dan ayah berapa, tapi apa yang dikisahkan oleh Buya Hamka terasa hidup. Yang saya ingat saat itu saya tidak hanya sekedar membaca teks tapi juga berasa fragmen tersebut ada di depan saya, layaknya menonton film di televisi. 


Sejak itu saya mulai mencari kisah-kisah lain dalam tafsir Al-Azhar. Saya ingat juga saat itu saya mengenal kisah Samiri dah sapi emasnya yah dari kitab tafsiran ulama yang tidak hanya dikenal di Indonesia tapi juga di negara-negara Asia Tenggara. 


Selain lewat buku karya-karyanya saya juga dikenalkan oleh Ayah dengan Buya Hamka lewat Masjid Al-Azhar yang terletak di Kebayoran Baru. Di Masjid tersebut semasa hidupnya Buya Hamka memberikan pengajian dan ilmunya kepada umat Islam Indonesia. Ayah juga cerita waktu meninggalnya, yang menyalakan jenazah Buya Hamka sampai luber dan dibuat dalam beberapa shaf. 


Itulah kira-kira perkenalan awal saya dengan Buya Hamka, dan itu juga tidak terlalu intens. Tetapi setidaknya cukup untuk menjawab Buya Hamka jila ditanya ulama Islam yang menjadi panutan, meski saat itu juga masih terlalu kabur untuk melihat jelas sosoknya. 


Hingga saat memasuki masa kuliah, setelah 14  hari dirawat di rumah sakit karena demam berdarah, ayah dan ibu mengajak saya ke Senen, waktu itu pas dzuhur kami sholat di Masjid toko buku Wali Songo, setelah shalat kami menyempatkan melihat buku-buku. Lalu saya tertarik dengan buku berjudul Tasawuf Modern, yang setelah mendekat baru sadar itu karya Buya Hamka. Meski covernya terlihat usang, tapi judul buku ini sangat menarik, dan ini memang kelebihan Hamka dalam memilih kata, Tasawuf yang terkesan sufi, tua dan kolot dibarengi dengan kata modern. Lewat karya ini Buya Hamka seakan ingin mengenalkan bahwa ajaran tasawuf tidak hanya berada dalam ruang-ruang tafakur yang sepi, tapi juga bisa dibawa dalam kehidupan modern yang ramai dan gempita. Yah, Hamka selalu menulis hal-hal serius dengan  gaya menghibur dan populer. 


Hamka memang sosok yang unik ia tidak hanya dikenal sebagai pendakwah tapi juga wartawan, penulis,  editor, sastrawan prolifik dan sejarawan. Hal ini tidak lepas dari semangat belajarnya yang tinggi. Sejak kecil Hamka yang haus ilmu merasa tidak cukup apa yang diajarkan oleh ayahnya. Maka ia mencari sumber bacaan lain secara sendiri. Kebiasaan belajarnya secara otodidak ini bisa jadi yang membentuk karakter Hamka sebagai pemikir bebas. 


James Robert Rush akademisi, sejarawan, dan guru besar bidang sejarah Amerika di Arizona University, dalam pengantarnya di buku Hamka’s Great Story; A Master Writer’s of Islam for Modern Indonesia yang kemudian diterjemahkan oleh Gramedia dengan Adicerita Hamka; Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia Modern, menyebut Hamka adalah pengarang, pemikir bebas, sastrawan dan mufasir. 


Sebagai penulis karya Hamka sangat banyak sebagaimana dikisahkan oleh Rush saat ia akan meneliti karya Hamka untuk tulisannya. Saat itu Rush mendatangi tempat arsip HB Jassin, sebagaimana rekomendasi banyak pihak. Saat ke sana dan usai berjumpa dengan penjaga arsip Rush mengisahkan penjaga arsip datang dengan satu box besar berisi buku dan naskah. Lalu ketika Rush baru mulai memilah datang lagi box kedua, ketiga dan seterusnya hingga satu meja penuh dengan box besar bertulis Hamka. 


Begitulah perkenalan saya dengan Buya Hamka. Meski masih sebatas luaran saja,  dari Buya Hamka saya memahami dengan membaca kita akan meraih kedalaman ilmu dan terbebas dari kejumudan berpikir.


Tidak ada komentar