Dulu ibu punya warung sembako. Sembako kerap diartikan sembilan bahan pokok. Saya yakin, selain gaji Ayah tentunya, warung sembako ibu ini juga menjadi sumber keuangan keluarga.
Selain menjual berbagai bahan pokok seperti beras, minyak tanah, minyak goreng dan lainnya warung ibu juga menjual barang-barang lain seperti alat kecantikan, mainan anak dan lainnya. Bisa dibilang warung ibu komplit seperti warung waralaba yang menjamur saat ini.
Warung ibu bisa dibilang menempati lokasi strategis, karena di depannya terhampar komplek perumahan nasional (perumnas) yang diisi para pegawai negeri. Tepat di depan warung ibu itu pula setiap pagi para pegawai dari berbagai departemen menunggu bus jemputan yang akan mengantar ke kantor masing-masing.
Saat itu, tahun 80an, bisa dibilang warung ibu satu-satunya yang menjual berbagai dagangan dengan sangat komplet. Maka para penghuni di komplek perumnas tersebut menjadikan warung ibu sebagai andalan menemukan berbagai macam kebutuhan rumah tangga mereka. Oiya, warung ibu dinamakan Mega Ranti yang diambil dari anak pertama yang otomatis merupakan kakak saya.
Sistem pembayaran di warung kami ada dua. Bisa cash dan bisa juga tempo atau dicicil. Untuk pembayaran cicil biasanya pada para langganan yang memang sudah dikenal banget. Biasanya mereka akan mengambil berbagai keperluan rumah tangga, lalu kami mencatatnya dalam buku kas bon dan pada akhir bulan setelah gajian baru mereka bayarkan. Meski begitu kerap juga ada yang saat akhir bulan tidak membayarkan tagihan secara keseluruhan. Mereka membayar 50 persen dulu dan sisanya akan masuk tagihan bulan depan. Hebatnya ini cicilan tanpa bunga. Terhadap pelanggan seperti ini saya suka kesal karena telatnya bayaran mereka juga mengganggu kebutuhan kami, meski ibu tidak pernah bisa menolak.
Selain menjadi tempat berbelanja, warung kami juga kerap dijadikan ajang mengobrol. Ibu selalu membuka warung setelah subuh untuk menjemput pembeli dari mereka yang akan berangkat kerja. Sambil menunggu bis yang akan mengantar, biasanya para pegawai negeri sipil ini akan duduk sebentar sambil cerita-cerita dengan beragam tema. Lalu biasanya pukul 9 pagi mereka yang telah pensiun akan berbelanja dan sebelum pulang mereka kerap duduk sebentar di bangku yang terbuat dari kayu dan bisa memuat 4 sampai 5 orang, menikmati teh botol dan roti sambil menumpang baca koran pagi langganan ayah, biasanya ibu suka memberi peringatan untuk tetap hati-hati saat membaca koran karena ayah kerap membaca ulang dan bisa murka jika korannya terusak.
Di sore hari bangku panjang yang terbuat dari kayu akan dipenuhi supir atau kondektur angkutan kota setelah mereka makan nasi padang dari restauran yang berdiri di sebelah warung ibu. Obrolan mereka biasanya lebih sederhana; soal bagaimana setoran belum terkumpul, tentahg wanita yang disuka, hasil pertandingan sepak bola dan lainnya. Obrolan mereka berkebalikan dari obrolan pegawai dan pensiunan pada pagi hari yang kerap membicarakan isu-isu yang tinggi semisal ekonomi, politik, pendidikan dan sebagainya.
Belakangan saya menyadari warung ibu telah memberi warna bagi keluarga kami. Ibu pun dikenal supel bergaul dengan siapa saja, dari mereka yang berdasi hingga para supir dan kondektur bus kota. Ibu bisa mengikuti obrolan mereka. Saya juga belakangan menyadari hal tersebut. Gaya komunikasi saya benar-benar terbangun dari kerapnya ibu meminta menjaga warung seusai pulang sekolah atau saat libur. Saya jadi bisa berkomunikasi dengan siapa saja. Dari sales produk yang menawarkan atau membawa tagihan, tukang becak yang kerap numpang duduk untuk mengusir lelah, juga bagaimana menghadali anggota ormas yang kerap meminta dengan membawa map berisi proposal acara.
Warung ibu ibarat sekolah bagi kami. Sekolah untuk mengenal banyak ragam orang dengan berbagai karakternya. Ada pelanggan yang dikenal sebagai preman dan kerap dalam keadaan mabok saat berbelanja, tapi dia tidak mengganggu. Awalnya kami takut, tapi lama kelamaan kami terbiasa dan bisa melayani dengan baik. Ada juga pelanggan yang dikenal sebagai tokoh agama yang saat berbelanja kerap mengingatkan untuk tetap menjaga kejujuran terlebih untuk jual beli yang terkait dengan timbangan. Saat itu kami memakai timbangan duduk untuk mengukur berat gula, telur dan minyak goreng.
Di warung ibu pula kami belajar tentang hitung menghitung, bagaimana menghitung resiko dari satu produk yang dijual dan yang tidak kalah penting bagaimana bernegosiasi.
Tapi warung ibu kini tidak ada lagi. Semenjak waralaba menjamur dan menjual dengan harga yang bisa dibilang miring, bahkan mendekati harga agen, warung ibu sulit bersaing. Promo cicilan 0% lebih menarik pelanggan ketimbang program cicilan di warung ibu yang bebas jangka watu dan tidak mengirim surat peringatan apalagi penagih yang kasar.
Tidak ada komentar