Perang Satelit






Apa yang lebih menyebalkan di pagi hari saat kita terburu-buru untuk mengejar aktivitas? Yah, ketiadaan sumber air. Terlebih di rumah selain saya dan istri ada keempat anak yang butuh mandi pagi hari. Maka saat mendengar bunyi mesin air menggerung, saya dan istri saling bebalas pandang, 

“jangan-jangan?” 

Benar såja dan terjadi lagi, mesin air ngadat. Tiga ember air yang dipakai buat memancing masih belum bisa membuat mesin air menarik air dari bawah. Akhirnya kami memutuskan dan meduga air di toren masih bisa kami pakai untuk mandi berenam, itupun setelah kami mewanti-mewanti, “Jangan boros memakai air” 

Maka pagi itu pikiran kami tidak tenang. Teringat bagaimana setahun yang lalu, kami setiap pagi dan sore harus menggotong air sebanyak 6 galon untuk sekedar aktivitas kamar mandi dan mencuci piring. Untuk mencuci baju kami harus ke rumah Mas Khairun, sahabat, rekan kantor dan tetangga yang baik hati. 

Rausyan, anak pertama kami yang sekarang kelas 3 SD masih inget betul kenangan kekeringan yang kami alami setahun lalu itu. Bagaimana tidak ia kebagian tugas membawa galon-galon kosong ke rumah mas Khairun dan mengisinya dengan air yang dialirkan melalui selang, yang begitu penuh langsung saya angkut menggunakan motor. Ketika itu saya harus mengakui skill pengantar air galon yang bisa mengimbangi motor Eski membawa empathie galon sekaligus dengan jarak yang jauh, saya dengan jarak puluhan meter såja membawa dua galon butuh  kemampuan sekuat tenaga. 

Siang hari saya menyempatkan pulang ke rumah uituk pulang kerja sekedar memastikan mesin air befungsi kembali. Sempat lega saat meningar suara merdu mesin bermerk national tersebut, tapi kelegaan saya langsung mengkerut saat mengetahui air tidak mengalir ke tempat penampungan air.

Bagi saya yang belum genap tiga tahun tinggal di Kota Tangerang, kesulitan sumber air ini memang yang pertama. Di Depok, tempat saya lahir hingga membesar, belum pernah mengalami hal ini. Tetapi di Tangerang soal bagaimana mendapatkan air ini ibarat sebuah petarungan dimana masing-masing keluarga saling berlomba menggali sedalam-dalamnya dengan mesin satelit. 

Soal mesin satelit ini saya jadi teringat Kandi, sahabat saya yang juga sahabat istri, yang pernah menanyakan bagaimana kasus penggunaan mesin satellit ini di kota Tangerang untuk sebuah penelitiannya. Waktu itu saya memang belum tahu dan bahkan baru tahu ada mesin air berjenis satellite. Tadinya saya pikir ini mesin virtual untuk mencari air. Gak tahunya ini mesin yang ditanam di dalam tanah untuk menyedot air, biasanya mesin ini membutuhkan kedalaman hingga di atas 40 meter. 

Saya memang belum paham apakah mesin satellit ini boleh untuk perumahan atau tidak. Ketika saya tanya Kandi, dia pun bilang tidak meneruskan penelitiannya.  Tapi di dalam sebuah berita saya membaca pompa air jenis ini identik digunakan di komplek perindustrian yang berarea luas dan jauh dari hunian penduduk. 

Soal dampak penggunaan mesin satelit ini saya merasakan langsung. Begitu tetangga memasang mesin air jenis ini di komplek perumahan yang sebelumnya saya tinggali, maka kinerja mesin air saya terganggu dan dalam hitungan hari saja sudah tidak bisa mengeluarkan air. 

Hebatnya begitu satu orang ketahuan memasang mesin air satelit maka besoknya beberapa rumah tangga juga memasangnya dan bahkan saling membanggakan kedalaman yang berhasil diraihnya. Lalu meraka yang belum memasang hanya terdiam memasang senyum kecut membayangkan aliran air di rumahnya. 


Lalu gimana dengan air di rumah saya? Akhirnya saya memanggil tukang bor air dan minta diperiksa. Alhamdulillah solusinya adalah dengan mengangkat pipa air yang terbenam ke tanah, membersihkan dan menambahkan beberapa batang paralon lalu Alhamdulillah air kembali mengalir. Setidaknya kini kami kembali tenang dan sambil memasang doa, agar hujan turun di Tangerang. 

Tidak ada komentar